SEMARANG.TOP – Alumnus program beasiswa Erasmus Mundus tersebut lahir dari sebuah keluarga yang tidak begitu mementingkan agama. Ibunya enggan mengimani kepercayaan apa pun. Bahkan, ayahnya adalah seorang ateis garis keras. Saat menjadi relawan sebuah lembaga nirprofit, ia berkesempatan mengabdi selama beberapa pekan di Bolivia. Salah satu negara underdeveloped tersebut berlokasi di Amerika Selatan. Di sana, dirinya bertemu dengan anakanak yatim piatu. Beberapa dari mereka ditinggal mati orang tua yang tewas akibat bencana alam.
Saat sedang mengobrol dengan seorang anak, Stijn untuk pertama kalinya merasakan kesadaran religius dan pentingnya bersyukur. Anak yatim tersebut ketika ditanya perihal kondisinya justru menjawab dengan kata-kata yang menyentuh hati. “Tuhan memang sudah mengambil ayah dan ibuku. Namun, kepergian mereka itu supaya aku bisa bersama dan selalu mengingat-Nya,” ujar mualaf ini, mengulang kembali perkataan bocah Bolivia itu, saat berbincang dengan Towards Eternity, beberapa waktu lalu.
Pengalaman itu amat membekas di hatinya. Begitu kembali ke Belgia, Stijn pun memutuskan untuk kembali ke gereja. Ia memilih jalan beragama, alih-alih tetap menjadi ateis seperti ayahanda. Teman-temannya cukup terkejut dengan keputusannya itu. Sebab, selama ini pemuda tersebut acap kali mengumbar antipati terhadap semua religi. Bukan hanya Islam. Kristen, Katolik, Yahudi, atau bahkan Buddha pun sempat men jadi sasaran cerca yang keluar dari lisannya. Keluarga besarnya pun tidak menyangka bahwa Stijn akan menyerupai sifat ibundanya yang kalem dan tidak suka berkonflik. Sang ibu memang ateis pula, tetapi tidak pernah sampai menjelek-jelekkan suatu agama. Anggapannya hanyalah bahwa dalam masyarakat sekuler, kepercayaan adalah urusan pribadi sehingga tidak pantas dibawa ke ranah umum, apalagi negara.
Stijn kini telah menjadi insan yang mengakui kemahakuasaan Tuhan. Namun, hatinya belum benar-benar menerima dogma agama yang sedang dipeluknya itu. Beberapa ajaran membuatnya kerap bertanya-tanya. Sebagai contoh, ajaran tentang Trinitas. Dalam kitab agama itu pun, tidak jarang penjelasan tentang Tuhan dipersonifikasi. Alhasil, Tuhan digambarkan seperti halnya manusia, yakni bisa tidur dan lain-lain. Ia pun sempat bertanya kepada seorang pendeta. Namun, jawaban ahli tersebut tidak memuaskan batinnya. Pikirannya tidak bisa menerima bahwa Tuhan disamakan dengan manusia.
Beberapa hari kemudian, lelaki yang dapat berbahasa Latin itu melepaskan imannya dan kembali menjadi ateis. Sampai pada titik ini, kenang Stijn, dirinya mulai merasakan frustrasi. Ia pun tenggelam dalam berbagai kebiasaan buruk, semisal mabuk minuman keras atau bersikap kasar pada orang-orang sekitar. Untungnya, hal itu tidak berlangsung lama. Dalam masa studi sarjananya, Stijn pada suatu hari diberi nasihat oleh dosennya. Masa muda tidak boleh disia-siakan agar hidup ke depannya lebih terarah. Ia pun kembali menata dirinya. Fokusnya hanya untuk belajar. Kemudian, mahasiswa ini berhasil mendapatkan kesempatan untuk belajar ke Turki. Melalui skema beasiswa, Stijn pun dapat tinggal dengan gratis di sana. Siapa sangka, itulah jalan baginya untuk memperoleh hidayah Islam. Untuk pertama kalinya, ia merasakan hidup di tengah masyarakat Muslim. Secara resmi, Turki memang merupakan sebuah negara sekuler. Namun, orang-orang di kota tempatnya tinggal memiliki religiositas yang cukup tinggi. Setiap waktu sholat, misalnya, banyak di antara mereka yang bergegas ke masjid terdekat.
Sumber : republika.com